Rabu, 09 Mei 2012

Abi, Maafkan Aku


Waktu menunjukkan pukul 12.00 tanda pelajaran sekolah untuk hari ini telah usai. Aku melangkahkan kaki, namun tujuanku bukan untuk pulang. Melainkan untuk menunaikan shalat dzuhur. Aku dan beberapa temanku mengantri untuk berwudhu kemuudian melaksanakan shalat di mesjid. Setelah shalat, para siswa dan siswi telah berkumpul di lapangan untuk acara penutupan Liga Ganesha yang aku tak tahu sebelumnya akan dilaksanakan hari ini.
Aku merasa terburu-buru ketika pergi ke kelas. Agar tak terlalu lama, ku simpa mukena di atas mejaku begitu pun dengan teman-temanku. Kami berlarian menuju lapangan. Sekitar lima menit kemudian, upacara telah dimulai. Aku baru ingat, aku tak membawa HP ke lapangan karena ku simpan di dalam tas saat hendak shalat tadi.
‘Aduh.. bagaimana ini? Aku belum memberitahu abi kalau sekarang ini masih upacara penutupan. Belum lagi latihan upacaranya. Ditambah dengan adanya tehmit (Technical mitting) DKM.” Pikirku.
Aku semakin gelisah karena upacanya tak kunjung selesai. Sekitar jam dua kurang lima menit, barulah upacara selesai. Ketika aku hendak memberitahu abi, tak ku sangka abi sudah sms.
Aku membuka pesan dari abi. “Udah selesai belum latihannya? Abi udah nunggu di depan sekolah.”
‘Bagaimana ini? Sedangkan atihan upacara aja belum dimulai.’ Pikirku. Aku bingung. Lalu aku membalas sms tersebut.
“Abi, latihan upacaranya juga baru mau dimulai. Soalnya, tadi ada upacara penutupan Liga Ganesha. Belum lagi katanya DKM ada Tehmit. Jadi kira-kira jam setengah empat baru selesai.”
“Abi mau pulang saja.” Balas abi.
‘Abi pasti arah nih’ pikirku. Aku telfon saja abi. Lama abi tak mengangkat telfonku. Hal itu membuatku tak tenang. Akhirnya, abi mengangkat telfonku.
“Halo.” Ucapku.
“Halo.” Jawab abi.
“Abi, sekarang abi ada dimana?” tanyaku.
“Lagi di perjalanan. Mau pulang.”
“Nanti aku pulangnya gimana?”
“Tergatung kondisinya. Kalaugak hujan mungkin abi jemput tapi jangan terlalu sore. Itu gak mesti semuanya ikut kan?”
“Iya bi, mungkin jam tiga udah selesai. Udah dulu bi. Assalamu’alaikum.”
Latihan berlangsung hingga jam tiga. Aku sms abi lagi dan memberi tahu bahwa latihan upacaranya telah selesai. Abi tak kunjungg membalas smsku. Lalu, aku menelfon abi. Namun, yang menerima telfon bukanlah abi, melainkan umi.
“Nazma, abinya gak bisa jemput, capek. Kamu naik angkot saja. Kamu juga kenapa ngulang lagi kesalahan. Sudah tahu dulu juga abi marah kalau kamu gak ngasih tahu sebelumnya. Waktu kemarin katanya sampai jam dua. Tapi jam dua dijemput malah belum selesai. Bgaimana kamu ini?”
“Iya mi.” Aku menjawab dengan suara yang bergetar.
Aku terus terfikirkan marahnya abi di sepanjang perjalanan di dalam angkot. Tiba-tiba, getaran sms mengusik lamunanku. Ternyata sms dari abi. Abi memberiahukan kalau Fidah akan menjemputku di depan warrnet.
Tiba di rumah, aku berniat untuk meminta maaf dan berterima kasih karena telah menyuruh Fidah untk menjemputku. Bisa dibayangkan, jika ketika itu Fidah tak menjemput, mungkin aku pulang seperti waktu itu, pulang kerumah dengan jalan kaki karena sudah tak ada angkot. Belum lagi cuaca yang berubah mendung. Namun, kuurungkan niatku karena melihat abi yang tengah tertidur. Aku takut mengganggu istirahat abi mengingat tadi yang dikatakan umi kalau abi kecpekan. Akhirnya, aku jelaskan kepada mengapa hari ini aku pulang sore.
Waktu sholat ashar telah tiba. Aku ergi ke kamar mandi untuk berwudhu lalu mengerjakan shalat berjamaah. Setelah itu aku pergi makan karena perutku sudah keroncongan minta diisi. Habisnya, tadi pagi aku hanya makan satu lontong dan sebuah bakwan.
Di tengah-tengah akuyang sedang makan, abi marah-marah dan bertanya padaku mengapa tidak memberitahu terlebih dahulu. Aku menjawabnya namun tak menghadap abi atau membelakangi abi. Meskipun kam dalam satu ruangan, yaitu ruangan tengah, ruangan ini disekat oleh dua buah lemari hingga menjadi dua ruangan. Abi semakin marah.
“Berbicara dengan  orang lain dengan membelakanginya, Demi Allah tidak sopan!. Kamu itu sudah gak memberitahu abi, pulang-pulang tak langsung minta maaf. Kamu gak menghargai abi yang mengantar jemput kamu. Abi selalu sempatkan waktu untuk menjemputmu walaupun dalam situasi sibuk. Sedangkan kamu meberitahu kapan pulangnya saja tidak. Abi capek harus bolak-balik ke SMA. Kamu itu nganggap abi sebagai apa?”
Aku tetap berdiam di tempatku. Tak berkutik sedikitpun. Kemudian abi mengajak semua anak-anak dengan menyebut nama-nama mereka satu per satu untuk berkumpul di ruang depan. Aku yang merasa tak terpanggil, ingin juga ikut kesana sekaligus ingin meminta maaf. Sebelum aku sempat mengucapkan kata maaf, abi marah dan melarangku untuk masuk ruang depan. Jadi, aku mendengarkan saja di samping ruang depan. Tepatnya di ruang tengah.
“Jawab nih, abi mau nanya. Kesalahan apa yang telah kalian lakkan hari ini?”
Tak ada seorangpun yang menjawab. “Jaja, hari ini jaja punya salah apa?” tanya abi pada adikku yang terkecil, Zahid.
Meskipun cukup lama Zahid berfikir, ia bersua juga. “Bertengkar sama Muadz.”
“Muadz, benar kamu bertengkar saa Jaja? Waktu kapan?”
“Iya, waktu main-main di luar.”
“Terus, siapa yang minta maaf duluan?”
“Aku.” Jaja menjawab dengan  semangat.
“Emangnya, siapa yang salah?”
“Muadz...” Jawab Nida, Mutiah dan Zahid serempak. Mereka juga mengetahui pertengkaran Muadz dan Zahid. Aku juga melihat tadi siang mereka berempat bermain bersama.
Kemudian abi beralih pada Nida. “Sekarang giliran Yai, kamu bikin kesalahan apa hari ini?”
“Hm.. waktu  pagi aku gak buang sampah.”
“Iya  tuh bi, si Yai mah disuruh umi buang sampah aja gak mau. Uminya jadi marah.” Mutiah menanggapi.
“Kamu udah minta maaf belum sama umi?”
Nida tak menjawab.
“Beluumm..” Jawab Muadz mewakili.
“Kenapa gak minta maaf? Anak kecil aja kalau berbuat salah minta maaf. Si Jaja aja meskipun gak salah minta maaf duluan.”
Kemudian, abi bertanya pada Midah dan Fidah. Tapi, mereka hanya  terdiam. Tak ada jawaban dari salah satu diantara mereka.
“Masa kalian selama seharian gak ngerasa melakukan kesalahan satu pun?”
Hening. Tetap tak ada jawaban dari keduanya.
Pembicaraan terus berlanjut hingga adzan maghrib berkumandang. Semua bersiap-siap melaksanakan shalat maghbrib di ruang tengah. setelah shalat, aku mengaji dulu. Tak lama kemudian, abi menyuruh anak-anak untuk berkumpul kembali.
aku hendak pergi kedepan ketika 2dua halaman qur’an telah ku baca. aku bermaksud untuk meminta maaf, namun lagi-lagi aku begitu takut. Aku takut jika aku ke depan yang ku dapat hanya bentakan dan marahnya abi.
Sepuluh menit berlalu. Abi masuk ke dalam kamar dan mengunci kamar tersebut. Aku yang dari tadi ingin minta maaf, tak jadi lagi untuk mengungkapkannya. Aku takut menggangu abi. Aku bingung, apa yang harus ku kerjakan saat itu. Mau minta maaf aku begitu takut. Akhirnya, aku menerjakan tugas sekolah yang belum selesai. Tak ku sangka, hal itu semakin menambah kemarahan abi.
“Sudah tahu salah bukannya minta maaf. Eh ini dengan tenang-tenangnya mengerjakan tugas sekolah.

Senin, 30 April 2012

Mengganggukah Kerasnya Suara Adzan?


Pertama kali saya mengetahui kontroversi tentang adzan pada sebuah komunitas muslim, yaitu ketika membaca sebuah artikel berita pada surat kabar nasional. Artikel tersebut berisi permintaan wakil presiden Indonesia Budiono tentang peraturan adzan agar tidak terlalu keras. Hal tersebut disampaikan pada pidato sambutan di Muktamar VI Dewan Masjid Indonesia (DMI). Maka, terbetiklah hasrat untuk mengetahui apa yang menjadi kontroversi dari pidato Wakil Presiden tersebut.
Sebagaimana kita sudah maklumi, mengeraskan suara azdan bertujuan untuk memberitahukan umat Islam atas kewajiban mereka agar bisa di dengar yang berada jauh dari mesjid. Pada zaman Rosulullah SAW adzan sengaja dikumandangkan dari tempat yang tinggi seperti menara. Namun, di zaman sekarang seiring perkembangan teknologi dengan ditemukannya alat pengeras suara. Maka, sangat wajar apabila adzan dikumandangkan dengan alat pengeras suara sebagai pengganti menara di zaman Rosulullah SAW.
Menilik alasan yang disampaikan oleh Wakil Presiden Budiono, bahwa beliau merasakan suara adzan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke dalam sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak dan terlalu dekat di telinga. Al-Qur’an pun mengajarkan kepada kita untuk memelankan suara sambil merendahkan hati ketika berdoa memohon bimbingan dan petunjuknya. Sejauh mana alasan itu dapat menguatkan permintaan Wakil presiden RI terhadap aturan adzan perlu kita cermati lebih mendalam agar tidak menjadi kontroversi di kalangan umat muslim.
Benar apa yang diungkapkan oleh Wapres suara adzan yang menyentak dan terlalu keras di telinga tidak merasuk ke dalam sanubari kita. Namun, jika adzan dikumandangkan dengan sayup-sayup atau dilamatkan, maka akan hilang fungsinya sebagai pemanggil orang untuk sholat terutama di negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Sebagai negara mayoritas muslim, kerasnya suara adzan tidaklah menjadi suatu hal yang mengganggu. Harusnya merasa terbantu diingatkan untuk shalat terutama ketika waktu subuh karena kita dibangunkan untuk melaksanakan sholat.
Jika mengeraskan kumandang adzan di wilayah mayoritas non muslim, bisa jadi suara adzan itu menggangu mereka. Karena yang diingatkan untuk shalat lebih sedikit daripada yang tidak sehingga mengakibatkan gangguan pada mayoritas masyarakat. Namun, pada kenyataannya di negara kita yang mayoritas muslim  hal tersebut bukanlah gangguan. Lagipula adzan dikumandangkan hanya di waktu-waktu tertentu, tidak sepanjang hari dikumandangkan.
Terkadang ada pula di kalangan masyarakat muslim dalam hal penggunaan alat pengeras suara yang ada di mesjid bergeser dari fungsi semula yaitu adzan. Alat pengeras suara tersebut digunakan untuk memperkeras suara wirid bersama-sama dalam waktu yang cukup lama. Terkadang pula digunakan untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, sholawatan dan pembacaan dziba yang sangat keras, sehingga hal itu dapat mengganggu kenyamanan masyarakat di sekitarnya.
Besar kemungkinan fenomena-fenomena tersebut di atas, menjadi pemicu permintaan Wakil Presiden mengenai aturan pengerasan suara adzan. Fenomena yang terjadi seharusnya tidak menjadi vonis pada suara adzan dengan anggapan mengganggu kenyamanan masyarakat di sekitar. Aturan sejauhmana kerasnya suara azdan sebaiknya disesuaikan dengan toleransi yang disepakati antara individu pada masyarakat tersebut dengan jalan musyawarah.
Terlepas dari kontroversi yang terjadi, kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah agar umat islam dapat memperhatikan lingkungannya di dalam melakukan kegiatan ibadah. Sehingga, kenyamanan umat dalam beribadah bisa maksimal dan tidak mengganggu. Hal itu juga bisa menjadi intropeksi terhadap semua umat dalam menjalankan ibadah. Dalam masalah ini, khususnya penggunaan alat pengeras suara yang ada di mesjid agar diperhatikan sehingga tidak mengganggu semua agama, tidak hanya islam.
Pengaturan pengeras suara di mesjid merupakan suatu hal yang harus diperhatikan. Di samping itu, pengaturan pengeras suara untuk adzan sudah dilakukan oleh pengurus mesjid. Yakni hanya lima kali dalam sehari saat waktu sholat tiba. Dalam hal ini, yang menjadi pokok masalahnya adalah bukan dari suara adzan melainkan pengaturan penggunaan alat pengeras suara di luar waktu sholat.