Pertama kali saya mengetahui
kontroversi tentang adzan pada sebuah komunitas muslim, yaitu ketika membaca
sebuah artikel berita pada surat kabar nasional. Artikel tersebut berisi
permintaan wakil presiden Indonesia Budiono tentang peraturan adzan agar tidak
terlalu keras. Hal tersebut disampaikan pada pidato sambutan di Muktamar VI
Dewan Masjid Indonesia (DMI). Maka, terbetiklah hasrat untuk mengetahui apa
yang menjadi kontroversi dari pidato Wakil Presiden tersebut.
Sebagaimana kita sudah
maklumi, mengeraskan suara azdan bertujuan untuk memberitahukan umat Islam atas
kewajiban mereka agar bisa di dengar yang berada jauh dari mesjid. Pada zaman
Rosulullah SAW adzan sengaja dikumandangkan dari tempat yang tinggi seperti
menara. Namun, di zaman sekarang seiring perkembangan teknologi dengan ditemukannya
alat pengeras suara. Maka, sangat wajar apabila adzan dikumandangkan dengan
alat pengeras suara sebagai pengganti menara di zaman Rosulullah SAW.
Menilik alasan yang
disampaikan oleh Wakil Presiden Budiono, bahwa beliau merasakan suara adzan
yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke dalam sanubari
kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak dan terlalu dekat di telinga.
Al-Qur’an pun mengajarkan kepada kita untuk memelankan suara sambil merendahkan
hati ketika berdoa memohon bimbingan dan petunjuknya. Sejauh mana alasan itu
dapat menguatkan permintaan Wakil presiden RI terhadap aturan adzan
perlu kita cermati lebih mendalam agar tidak menjadi kontroversi di kalangan
umat muslim.
Benar apa yang diungkapkan oleh
Wapres suara adzan yang menyentak dan terlalu keras di telinga tidak merasuk ke
dalam sanubari kita. Namun, jika adzan dikumandangkan dengan sayup-sayup atau
dilamatkan, maka akan hilang fungsinya sebagai pemanggil orang untuk sholat
terutama di negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Sebagai negara mayoritas
muslim, kerasnya suara adzan tidaklah menjadi suatu hal yang mengganggu. Harusnya
merasa terbantu diingatkan untuk shalat terutama ketika waktu subuh karena kita
dibangunkan untuk melaksanakan sholat.
Jika mengeraskan kumandang adzan di wilayah mayoritas non muslim, bisa jadi
suara adzan itu menggangu mereka. Karena yang diingatkan untuk shalat lebih
sedikit daripada yang tidak sehingga mengakibatkan gangguan pada mayoritas
masyarakat. Namun, pada kenyataannya di negara kita yang mayoritas muslim hal tersebut bukanlah gangguan. Lagipula adzan
dikumandangkan hanya di waktu-waktu tertentu, tidak sepanjang hari
dikumandangkan.
Terkadang ada pula di kalangan masyarakat muslim dalam hal penggunaan
alat pengeras suara yang ada di mesjid bergeser dari fungsi semula yaitu adzan.
Alat pengeras suara tersebut digunakan untuk memperkeras suara wirid
bersama-sama dalam waktu yang cukup lama. Terkadang pula digunakan untuk
melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, sholawatan dan pembacaan dziba yang
sangat keras, sehingga hal itu dapat mengganggu kenyamanan masyarakat di
sekitarnya.
Besar kemungkinan fenomena-fenomena tersebut di atas, menjadi pemicu
permintaan Wakil Presiden mengenai aturan pengerasan suara adzan. Fenomena yang
terjadi seharusnya tidak menjadi vonis pada suara adzan dengan anggapan
mengganggu kenyamanan masyarakat di sekitar. Aturan sejauhmana kerasnya suara
azdan sebaiknya disesuaikan dengan toleransi yang disepakati antara individu
pada masyarakat tersebut dengan jalan musyawarah.
Terlepas dari kontroversi
yang terjadi, kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah agar umat islam dapat
memperhatikan lingkungannya di dalam melakukan kegiatan ibadah. Sehingga,
kenyamanan umat dalam beribadah bisa maksimal dan tidak mengganggu. Hal itu
juga bisa menjadi intropeksi terhadap semua umat dalam menjalankan ibadah. Dalam
masalah ini, khususnya penggunaan alat pengeras suara yang ada di mesjid agar
diperhatikan sehingga tidak mengganggu semua agama, tidak hanya islam.
Pengaturan pengeras suara
di mesjid merupakan suatu hal yang harus diperhatikan. Di samping itu,
pengaturan pengeras suara untuk adzan sudah dilakukan oleh pengurus mesjid. Yakni
hanya lima kali dalam sehari saat waktu sholat tiba. Dalam hal ini, yang
menjadi pokok masalahnya adalah bukan dari suara adzan melainkan pengaturan
penggunaan alat pengeras suara di luar waktu sholat.