Waktu menunjukkan pukul 12.00 tanda
pelajaran sekolah untuk hari ini telah usai. Aku melangkahkan kaki, namun
tujuanku bukan untuk pulang. Melainkan untuk menunaikan shalat dzuhur. Aku dan
beberapa temanku mengantri untuk berwudhu kemuudian melaksanakan shalat di
mesjid. Setelah shalat, para siswa dan siswi telah berkumpul di lapangan untuk
acara penutupan Liga Ganesha yang aku tak tahu sebelumnya akan dilaksanakan
hari ini.
Aku merasa terburu-buru ketika pergi
ke kelas. Agar tak terlalu lama, ku simpa mukena di atas mejaku begitu pun
dengan teman-temanku. Kami berlarian menuju lapangan. Sekitar lima menit
kemudian, upacara telah dimulai. Aku baru ingat, aku tak membawa HP ke lapangan
karena ku simpan di dalam tas saat hendak shalat tadi.
‘Aduh.. bagaimana ini? Aku belum
memberitahu abi kalau sekarang ini masih upacara penutupan. Belum lagi latihan
upacaranya. Ditambah dengan adanya tehmit (Technical mitting) DKM.” Pikirku.
Aku semakin gelisah karena upacanya
tak kunjung selesai. Sekitar jam dua kurang lima menit, barulah upacara
selesai. Ketika aku hendak memberitahu abi, tak ku sangka abi sudah sms.
Aku membuka pesan dari abi. “Udah
selesai belum latihannya? Abi udah nunggu di depan sekolah.”
‘Bagaimana ini? Sedangkan atihan
upacara aja belum dimulai.’ Pikirku. Aku bingung. Lalu aku membalas sms
tersebut.
“Abi, latihan upacaranya juga baru
mau dimulai. Soalnya, tadi ada upacara penutupan Liga Ganesha. Belum lagi
katanya DKM ada Tehmit. Jadi kira-kira jam setengah empat baru selesai.”
“Abi mau pulang saja.” Balas abi.
‘Abi pasti arah nih’ pikirku. Aku
telfon saja abi. Lama abi tak mengangkat telfonku. Hal itu membuatku tak
tenang. Akhirnya, abi mengangkat telfonku.
“Halo.” Ucapku.
“Halo.” Jawab abi.
“Abi, sekarang abi ada dimana?”
tanyaku.
“Lagi di perjalanan. Mau pulang.”
“Nanti aku pulangnya gimana?”
“Tergatung kondisinya. Kalaugak
hujan mungkin abi jemput tapi jangan terlalu sore. Itu gak mesti semuanya ikut
kan?”
“Iya bi, mungkin jam tiga udah
selesai. Udah dulu bi. Assalamu’alaikum.”
Latihan berlangsung hingga jam tiga.
Aku sms abi lagi dan memberi tahu bahwa latihan upacaranya telah selesai. Abi
tak kunjungg membalas smsku. Lalu, aku menelfon abi. Namun, yang menerima
telfon bukanlah abi, melainkan umi.
“Nazma, abinya gak bisa jemput,
capek. Kamu naik angkot saja. Kamu juga kenapa ngulang lagi kesalahan. Sudah
tahu dulu juga abi marah kalau kamu gak ngasih tahu sebelumnya. Waktu kemarin
katanya sampai jam dua. Tapi jam dua dijemput malah belum selesai. Bgaimana
kamu ini?”
“Iya mi.” Aku menjawab dengan suara
yang bergetar.
Aku terus terfikirkan marahnya abi
di sepanjang perjalanan di dalam angkot. Tiba-tiba, getaran sms mengusik
lamunanku. Ternyata sms dari abi. Abi memberiahukan kalau Fidah akan
menjemputku di depan warrnet.
Tiba di rumah, aku berniat untuk
meminta maaf dan berterima kasih karena telah menyuruh Fidah untk menjemputku.
Bisa dibayangkan, jika ketika itu Fidah tak menjemput, mungkin aku pulang
seperti waktu itu, pulang kerumah dengan jalan kaki karena sudah tak ada
angkot. Belum lagi cuaca yang berubah mendung. Namun, kuurungkan niatku karena
melihat abi yang tengah tertidur. Aku takut mengganggu istirahat abi mengingat
tadi yang dikatakan umi kalau abi kecpekan. Akhirnya, aku jelaskan kepada
mengapa hari ini aku pulang sore.
Waktu sholat ashar telah tiba. Aku
ergi ke kamar mandi untuk berwudhu lalu mengerjakan shalat berjamaah. Setelah
itu aku pergi makan karena perutku sudah keroncongan minta diisi. Habisnya,
tadi pagi aku hanya makan satu lontong dan sebuah bakwan.
Di tengah-tengah akuyang sedang
makan, abi marah-marah dan bertanya padaku mengapa tidak memberitahu terlebih
dahulu. Aku menjawabnya namun tak menghadap abi atau membelakangi abi. Meskipun
kam dalam satu ruangan, yaitu ruangan tengah, ruangan ini disekat oleh dua buah
lemari hingga menjadi dua ruangan. Abi semakin marah.
“Berbicara dengan orang lain dengan membelakanginya, Demi Allah
tidak sopan!. Kamu itu sudah gak memberitahu abi, pulang-pulang tak langsung
minta maaf. Kamu gak menghargai abi yang mengantar jemput kamu. Abi selalu
sempatkan waktu untuk menjemputmu walaupun dalam situasi sibuk. Sedangkan kamu
meberitahu kapan pulangnya saja tidak. Abi capek harus bolak-balik ke SMA. Kamu
itu nganggap abi sebagai apa?”
Aku tetap berdiam di tempatku. Tak
berkutik sedikitpun. Kemudian abi mengajak semua anak-anak dengan menyebut
nama-nama mereka satu per satu untuk berkumpul di ruang depan. Aku yang merasa
tak terpanggil, ingin juga ikut kesana sekaligus ingin meminta maaf. Sebelum
aku sempat mengucapkan kata maaf, abi marah dan melarangku untuk masuk ruang
depan. Jadi, aku mendengarkan saja di samping ruang depan. Tepatnya di ruang
tengah.
“Jawab nih, abi mau nanya. Kesalahan
apa yang telah kalian lakkan hari ini?”
Tak ada seorangpun yang menjawab.
“Jaja, hari ini jaja punya salah apa?” tanya abi pada adikku yang terkecil,
Zahid.
Meskipun cukup lama Zahid berfikir,
ia bersua juga. “Bertengkar sama Muadz.”
“Muadz, benar kamu bertengkar saa
Jaja? Waktu kapan?”
“Iya, waktu main-main di luar.”
“Terus, siapa yang minta maaf
duluan?”
“Aku.” Jaja menjawab dengan semangat.
“Emangnya, siapa yang salah?”
“Muadz...” Jawab Nida, Mutiah dan
Zahid serempak. Mereka juga mengetahui pertengkaran Muadz dan Zahid. Aku juga
melihat tadi siang mereka berempat bermain bersama.
Kemudian abi beralih pada Nida.
“Sekarang giliran Yai, kamu bikin kesalahan apa hari ini?”
“Hm.. waktu pagi aku gak buang sampah.”
“Iya
tuh bi, si Yai mah disuruh umi buang sampah aja gak mau. Uminya jadi
marah.” Mutiah menanggapi.
“Kamu udah minta maaf belum sama
umi?”
Nida tak menjawab.
“Beluumm..” Jawab Muadz mewakili.
“Kenapa gak minta maaf? Anak kecil
aja kalau berbuat salah minta maaf. Si Jaja aja meskipun gak salah minta maaf
duluan.”
Kemudian, abi bertanya pada Midah
dan Fidah. Tapi, mereka hanya terdiam.
Tak ada jawaban dari salah satu diantara mereka.
“Masa kalian selama seharian gak
ngerasa melakukan kesalahan satu pun?”
Hening. Tetap tak ada jawaban dari
keduanya.
Pembicaraan terus berlanjut hingga
adzan maghrib berkumandang. Semua bersiap-siap melaksanakan shalat maghbrib di
ruang tengah. setelah shalat, aku mengaji dulu. Tak lama kemudian, abi menyuruh
anak-anak untuk berkumpul kembali.
aku hendak pergi kedepan ketika 2dua
halaman qur’an telah ku baca. aku bermaksud untuk meminta maaf, namun lagi-lagi
aku begitu takut. Aku takut jika aku ke depan yang ku dapat hanya bentakan dan
marahnya abi.
Sepuluh menit berlalu. Abi masuk ke
dalam kamar dan mengunci kamar tersebut. Aku yang dari tadi ingin minta maaf,
tak jadi lagi untuk mengungkapkannya. Aku takut menggangu abi. Aku bingung, apa
yang harus ku kerjakan saat itu. Mau minta maaf aku begitu takut. Akhirnya, aku
menerjakan tugas sekolah yang belum selesai. Tak ku sangka, hal itu semakin
menambah kemarahan abi.
“Sudah tahu salah bukannya minta
maaf. Eh ini dengan tenang-tenangnya mengerjakan tugas sekolah.