Senin, 15 Agustus 2011

Timun Suri Curian


TIMUN SURI CURIAN

                                                                                           Oleh              : Nazma H Laila

Bel tanda pelajaran berakhir untuk kelas satu telah berbunyi. Aku ingin segera sampai ke rumah kala ingat janjiku pada Egi untuk bermain bersama. Egi teman baikku yang selalu menemani bermain setelah pulang sekolah. Egi tinggal tidak jauh dari rumahku, dia juga siswa kelas 1, namun berbeda sekolah denganku.
Sesampainya di rumah aku segera berganti pakaian.
“Muadz udah ganti pakaianmu..belum?”tanya ibu dari dapur ketika mendengar langkah kakiku yang sudah berada di kamar.
 “Lagi ganti baju….Bu…!!”Jawabku. Secepat kilat aku keluar rumah menemui Egi di pekarangan rumah yang telah menunggu sesuai janjiku padanya kemarin. Hari ini aku dan Egi merencanakan permainan petualangan. Belum selesai merencanakannya, tiba-tiba Nida kakakku datang dari sekolahnya dan melihat kami sedang bermain.
“Muadz aku ikutan main… Ya..!” kata Nida.
“Aku mau ganti baju dulu, ..jangan ninggalin aku ya…!” lanjutnya.
 “iya…kak.!” Jawabku
 Tak lama kemudian Nida muncul. Ia membawa sisa jajanan dari sekolahnya dan membagikannya kepada kami.
“Kalian mau main apaan..?” tanya Nida .
 “Permainan petualangan.kak!” Jawab kami.
“Tapi kita belum menentukan permainan petualangan itu..”
“Kalau begitu bagaimana jika kita main ke sawah ..?” ajak Nida kepada aku dan Egi .
“Akan asyik lho main di sana…”
Aku dan Egi setuju usul Nida. Kami bertiga bergegas pergi ke pesawahan yang agak jauh dari rumahku. Ketika berjalan di jalan setapak, “Hei lihat itu !” kata Nida sambil menunjukkan tangannya ke sebuah sawah yang ditanami timun suri.
“Kita kesana saja”.
“Aku setuju” kata Egi.
Di sana, kami berpencar untuk melihat-lihat bila ada timun suri yang terlepas dari tangkainya. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah timun suri yang sudah ranum. Kulihat sekelilingku, Nida dan Egi tak melihat ke arahku dan tak ada orang lain yang melihatku. Lalu, aku cabut timun suri itu dari tangkainya.
“Nida, Egi…” panggilku kepada mereka. Mereka menghampiriku.
“Ada apa?” tanya Nida.
“Lihat, timun surinya !” tunjukku pada timun suri tersebut.
“Kita ambil saja” Usulku.
Egi menengok sekeliling khawatir ada orang yang melihat. Lalu Egi menyimpan timun suri itu di dalam baju. Kami saling berpandangan.
“1…2…3… Kabur…”. Teriak Nida sambil berlari duluan.
Kami berlarian di jalan setapak sampai agak jauh dari tempat tadi. Setelah menemukan tempat yang aman, kami menikmati timun suri curian itu. Belum habis timun suri kami nikmati, tiba-tiba perutku terasa sakit. Nida mengajakku pulang. Kami memutuskan untuk pulang kerumah masing-masing. Sakit perutku semakin menjadi-jadi sampai aku hampir menangis.
“Muadz, kenapa wajahmu seperti menahan sakit?” tanya ibu ketika melihat aku datang sambil meringis kesakitan.
“Perutku sakit bu” jawabku.
“Kenapa… ?, pasti ada yang kau makan di luar.”
“Timun suri bu”
“Timun suri darimana?”
“Diberi oleh Nida bu”
“Apa..?, bukan, Muadz bohong, bukan dari aku” sanggah Nida.
“Hayoo, siapa yang berbohong ini?, Muadz atau Nida?”
“Muadz yang metiknya, aku hanya ngasih tahu tempatnya” sanggah Nida.
“Wah.. apa betul itu Muadz?”
Karena sakit perutku semakin menjadi-jadi akhirnya aku mengakui bahwa timun suri tersebut aku ambil dari sebuah ladang timun suri milik orang lain. Lalu ibu memarahi dan memberi nasihat. Aku dan Nida hanya diam saja mendengarkan. Aku menyadari kesalahan yang telah kulakukan.
Tak lama kemudian ayah datang menghampiri kami dan menanyakan apa yang telah terjadi. Ibu lalu menceritakan peristiwa yang kualami pada ayah. Ayah marah besar dan memarahi kami habis-habisan. Terutama pada kakakku Nida, yang mengajak adiknya bermain tidak baik.
Akhirnya aku sadar apa yang telah aku perbuat. Bahwa perbuatan itu tidak baik. Aku kapok, sudah sakit perut, dimarahi habis-habisan oleh ayah. Aku janji tak akan mengulanginya lagi.***

0 komentar:

Posting Komentar